Tren kohabitasi atau kumpul kebo dan kelahiran anak di luar pernikahan semakin meningkat di kota-kota besar Indonesia. Kohabitasi sendiri adalah ketika pasangan hidup atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah. Generasi muda saat ini melihat pernikahan sebagai institusi yang terlalu rumit dengan aturan-aturan yang kompleks, sementara kohabitasi dianggap sebagai hubungan yang lebih murni yang didasari oleh cinta dan saling tarik menarik.
Menurut teori “Second Demographic Transition” (SDT) yang dikemukakan oleh Profesor Ron Lesthaeghe dari Belgia, pernikahan sudah tidak lagi dianggap sebagai bentuk persatuan konvensional yang berdasarkan pada norma dan nilai sosial. Sebagai gantinya, kohabitasi menjadi alternatif baru dalam membentuk keluarga. Di beberapa negara seperti di Eropa Barat dan Utara, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, kohabitasi sudah diakui secara hukum. Di Belanda misalnya, setengah dari pasangan melakukan kohabitasi dengan durasi rata-rata lebih dari empat tahun, dan hanya sedikit yang melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Di Asia, kohabitasi masih belum diakui secara legal karena pengaruh budaya, tradisi, dan agama. Di Jepang, sekitar 25% pasangan melakukan kohabitasi dengan durasi rata-rata sekitar dua tahun, dan sebagian besar dari mereka akhirnya melanjutkan ke pernikahan. Kelahiran anak di luar pernikahan di Jepang juga termasuk yang terendah di antara negara-negara anggota OECD.
Di Indonesia, studi tahun 2021 menunjukkan bahwa kohabitasi lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, terutama di kalangan penduduk non-Muslim. Berdasarkan analisis dari BRIN atas data PK21 milik BKKBN, sekitar 0,6% penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi. Dari pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% diantaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal.
Dengan tren ini, masyarakat Indonesia perlu mempertimbangkan untuk memberikan pengakuan hukum terhadap kohabitasi sebagai salah satu bentuk pembentukan keluarga yang semakin umum terjadi. Selain itu, penting juga untuk memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat tentang berbagai bentuk hubungan yang ada, sehingga stigma terhadap kohabitasi dapat dikurangi. Semoga dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat bisa menerima perubahan ini dengan lebih terbuka dan bijaksana.